BERITA TERBARU HARI INI – 43 Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong di Pilkada 2024, Pertanda Apa?. Fenomena calon tunggal dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2024 kemungkinan bakal kembali terjadi di sejumlah daerah. Tren calon tunggal di Pilkada 2024 ini bahkan diprediksi bisa meningkat, daripada Pilkada 2020.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu (4/9/2023), ada 43 calon tunggal sementara di Pilkada 2024. Angka ini disebut naik signifikan dari Pilkada 2020 yang hanya 25.
KPU merinci, untuk tingkat provinsi, hanya ada 1 provinsi yang kemungkinan bakal diisi oleh calon tunggal, yakni Papua Barat. Sementara di tingkat kabupaten/kota ada 42.
Sebelumnya, KPU melaporkan bahwa terdapat 48 wilayah yang memiliki calon tunggal dalam Pilkada 2024, jumlah ini terdiri dari 1 provinsi, 42 kabupaten, dan lima kota. Namun, jumlah tersebut kini telah diralat oleh Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik. Berdasarkan data terbaru, total wilayah yang memiliki calon tunggal kini berjumlah 43 wilayah.
Menurut Direktur Aljabar Strategic Indonesia Arifki Chaniago, fenomena calon tunggal di Pilkada 2024 menjadi indikator adanya masalah dalam iklim demokrasi di Indonesia.
Dia menilai bahwa peningkatan jumlah calon tunggal mencerminkan kondisi demokrasi yang kurang sehat, di mana proses politik cenderung didominasi oleh elite dan kurang memberi ruang bagi persaingan politik yang terbuka.
Lebih lanjut, Arifki menjelaskan bahwa partai politik kini memainkan peran kunci dalam menentukan siapa yang akan maju dalam Pilkada. Meskipun kandidat tersebut mungkin kurang populer di mata masyarakat, mereka tetap bisa diusung jika disukai oleh elite politik.
“Partai politik saat ini cenderung lebih ingin mengamankan kepentingannya, sehingga kompromi antar-elite menjadi prioritas,” tambahnya.
Kondisi ini, menurut Arifki, juga dipengaruhi oleh waktu Pilkada yang berdekatan dengan pelantikan presiden, sehingga para kandidat merasa perlu mengamankan dukungan elite untuk menjaga posisi mereka.
“Demokrasi memang melibatkan kompromi, tetapi jika kompromi hanya terjadi di antara elite tanpa mempertimbangkan keinginan publik, maka kualitas demokrasi itu sendiri patut dipertanyakan,” tegasnya.
Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah menurunkan ambang batas pencalonan di Pilkada 2024, Arifki berpendapat bahwa langkah ini belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah calon tunggal.
“Putusan MK itu memang membuka ruang bagi partai-partai kecil untuk mencalonkan kandidat mereka sendiri. Namun, negosiasi antara elite dan partai-partai besar sudah terjadi jauh sebelum putusan itu dikeluarkan. Akibatnya, meskipun ada ruang lebih besar untuk kontestasi, kemungkinan besar yang terjadi adalah pertarungan head-to-head antara dua kandidat, bukan lebih dari itu,” jelasnya.
Tidak Berikan Ruang Kontestasi
Senada, Analis Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menilai bahwa fenomena calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 berpotensi melemahkan kualitas demokrasi di Indonesia. Meskipun secara konstitusi diperbolehkan, Ujang menganggap bahwa keberadaan calon tunggal tidak memberikan ruang bagi kontestasi yang sehat.
Ujang menjelaskan bahwa meskipun secara undang-undang keberadaan kotak kosong sah dan diatur, hal ini tetap menjadi dilema. Di satu sisi, kotak kosong melemahkan esensi demokrasi yang seharusnya menawarkan pilihan alternatif bagi pemilih.
Namun di sisi lain, para kandidat dan partai politik yang kelelahan setelah menghadapi Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 cenderung memilih jalan pintas dengan menjadi calon tunggal.
“Saya melihat partai-partai politik sudah kelelahan setelah Pileg dan Pilpres yang lalu. Karena Pilkada berdekatan, mereka memborong dukungan dari berbagai partai untuk menjadi calon tunggal dan melawan kotak kosong,” tambah Ujang.
Menurut Ujang, melawan kotak kosong memang bisa dianggap lebih mudah dan murah bagi para kandidat, karena tidak perlu menghabiskan banyak energi dan biaya untuk kampanye atau berhadapan dengan lawan politik yang kompetitif. Namun, kondisi ini tetap merugikan publik karena tidak diberikan alternatif.
“Demokrasi memang berjalan secara prosedural, tapi substansinya hilang. Publik tidak diberi banyak pilihan terkait kandidat-kandidat yang berkualitas dan berintegritas,” tegas Ujang.
Putusan MK Belum Efektif
Adapun Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID) Kholil Pasaribu mengungkapkan bahwa putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 belum berdampak signifikan untuk menurunkan jumlah calon tunggal di Pilkada 2024.
“Pengaruh putusan MK itu belum begitu meluas terjadi di banyak daerah,” kata Kholil.
Menurut Kholil, ada dua faktor utama yang membuat putusan MK ini belum efektif. Pertama, jangka waktu yang singkat antara keluarnya putusan MK dengan dimulainya masa pendaftaran Pilkada, sehingga koalisi antar partai politik (parpol) yang telah terbentuk lama sulit untuk diubah.
“Kedua, ada peningkatan semangat pengabaian dan perlawanan terhadap putusan MK oleh parpol, terutama parpol yang memiliki kursi di DPR RI,” ujar dia.
Pengabaian dan perlawanan yang diperlihatkan parpol tersebut dinilainya sebagai anomali, sebab putusan MK itu sesungguhnya menguntungkan parpol karena dengan itu bisa mengajukan pasangan calon tanpa tersandera oleh syarat pencalonan yang berat.
“Karena itu , tidak ada alasan lain yang bisa menjelaskan sikap anomali parpol tersebut kecuali parpol telah terperangkap dalam praktik politik kartel. Elite-elite parpol menggadaikan kemandirian dan kedaulatan partainya dengan sikap pragmatisme,” kata dia.
Dia menyatakan, calon tunggal memang menjanjikan kemenangan yang paripurna. Gabungan parpol pengusung dan calon tidak perlu mengeluarkan uang yang terlalu banyak. Sementara keuntungan politik dan ekonomi sudah bisa dipastikan berada dalam genggaman.
“Itu sebabnya, di tengah akutnya serangan pragmatisme melanda elite-elite parpol, calon tunggal menjadi pilihan yang paling menjanjikan keuntungan,” katanya.
Antisipasi Kotak Kosong
Sementara itu, Ketua KPU RI Mochammad Afifudin mengatakan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Komisi II DPR RI untuk melakukan konsultasi membahas kemungkinan kotak kosong menang di Pilkada 2024.
Diketahui, hingga kini terdapat satu provinsi, 5 kota, 37 kabupaten yang akan melawan kotak kosong.
“Kami akan melakukan konsultasi ke pembuat undang-undang, ke DPR. Insyaallah awal minggu depan akan terjadwal. Surat permohonan konsultasi sudah kami kirimkan hari ini,” kata Afif, saat konferensi pers, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
“Itu untuk menjawab situasi jika di daerah yang ada calon tunggal yang menang kotak kosong,” sambung dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan, KPU RI terus berupaya agar Pilkada serentak 2024 tidak ada yang melawan kotak kosong.
Namun, hal itu bukan menjadi sepenuhnya kewenangan KPU. Sebab, faktor utama yakni pada para perserta pilkada 2024.
“Kami ingin menyampaikan bahwa apa yang dilakukan KPU ini adalah bagian dari upaya kita untuk menekan atau untuk membuka peluang agar potensi calon tunggal semakin minim,” ungkapnya.
“Tapi tentu situasinya tidak hanya bergantung terhadap apa yang sudah dilakukan oleh KPU, tentu bergantung juga pada peserta atau calon peserta pemilu atau pilkadanya,” imbuh Afif.
Apa yang Terjadi Jika Kotak Kosong Menang?
Ketua Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, menyampaikan bahwa jika calon tunggal kalah melawan kotak kosong dalam pemilihan, sesuai dengan ketentuan Pasal 54 D ayat 3, maka akan diadakan pilkada ulang yang bisa diselenggarakan pada tahun berikutnya (2025) atau sesuai jadwal lima tahun sekali (2029).
“Jika nanti diselenggarakan di tahun berikutnya berarti pemilihan akan diselenggarakan pada bulan November 2025,” kata Idham saat dihubungi di Jakarta, Minggu 1 Agustus 2024.
Idham menjelaskan bahwa sesuai aturan yang berlaku, calon tunggal pada Pilkada 2024 harus memperoleh lebih dari 50 persen suara sah. Jika tidak, daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat (Pj).
“Jika hasil pemilihan nanti, di mana calon tunggal tidak memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka pemerintah menugaskan penjabat gubernur, bupati, atau wali kota,” tutur dia seperti dilansir dari Antara.
Idham menguraikan bahwa ada dua alternatif jika calon tunggal tidak berhasil mendapatkan lebih dari 50 persen suara sah.
Alternatif tersebut adalah mengadakan pilkada ulang pada tahun berikutnya atau mengikuti jadwal yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 3 ayat 1 UU nomor 8 tahun 2015, di mana pilkada diadakan setiap lima tahun sekali.
“Berarti ada dua alternatif tahun penyelenggaraan pilkada diulang kembali pada tahun berikutnya (2025), atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan (2029),” ujarnya.
Idham juga menyebutkan bahwa hingga tanggal terakhir pendaftaran pada 29 Agustus 2024, terdapat 43 calon tunggal yang terdiri dari satu provinsi, lima kota, dan 37 kabupaten.